Tak Diperhatikan Pemerintah, Angkinan Kain Khas Sumsel Terancam Punah

Ekonomi, Palembang168 Dilihat

FOCUSKINI.ID, PALEMBANG – Salah satu kain khas Sumatera Selatan (Sumsel) Angkinan saat ini tak menjadi pilihan bahkan kurang dikenal masyarakat. Tertinggalnya kain Angkinan bukan hanya karena faktor terkikis oleh jaman, namun juga kurangnya perhatian dari Pemerintah Daerah (Pemda).

Padahal kain ini juga merupakan warisan budaya Sumsel sama seperti kain Jumputan dan Songket. Sehingga kain Angkinan terancam punah sangat butuh perhatian lebih dari Pemda terutama Pemerintah Kota Palembang.

“Kain ini merupakan warisan turun-menurun dari nenek moyang yang alhamdulillah masih bertahan sampai saat ini, saya sendiri ingin melestarikan salah satu kain khas Sumsel yang sudah ada dari jaman Kerajaan Sriwijaya karena agak tenggelam semenjak adanya bordir,” kata Ayu Pewaris asli kain Angkinan saat dibincangi langsung pada, Rabu (16/10/2024).

Ayu menjelaskan sebagai pelestari tetap mempertahankan dengan cara mendirikan kelompok pengrajin yang berada di Jalan Mayor Zen, Kelurahan Sei Lais Kecamatan Kalidoni dengan nama Kampung Sunan Sulam Angkinan.

“Masih banyak yang belum mengetahui jika kain Angkinan ini salah satu kain khas Sumsel juga, padahal sama seperti songket ataupun jumputan. Oleh karena itu, agar kain turun temurun ini tetap bisa dilestarikan jadi saya dirikan kelompok pengrajin ini. Kalau tidak dibuat kelompok pengrajin seperti ini, maka dipastikan kain ini akan punah,” jelasnya.

Ayu menyebut untuk pengrajin yang ia pekerjakan diambil dari warga sekitar termasuk saudaranya sendiri, sebab ia ingin membantu perekonomian sekitar.

“Disini ada 50 pekerja dan rata-rata adalah saudara saya yang tinggalnya juga masih di lingkungan sini, sebab kampung ini masih cukup tertinggal dan jarang dilirik pemerintah. Oleh karena itu, dengan cara cara ini saya mau membantu warga sekitar agar terbantu ekonominya yang rata-rata memang petani,” ujarnya.

Ayu mengungkapkan jika saat ini kelompok pengrajin yang ia dirikan terhalang dana dan sangat membutuhkan bantuan permodalan dari pemda setempat terutama dari dinas-dinas yang ada di Kota Palembang.

“Kami berharap kepada seluruh dinas khusunya Kota Palembang melirik kerajinan kain angkinan ini, karena memang kami masih kurang modal dan perlu dibantu. Selama ini jika modal kurang saya suka bekerja menjadi kuli, bahkan tukang urut dan barulah bisa membayar pekerja disini. Kadang juga beberapa pekerja meminta dibayar dengan sembako seperti gula, minyak, karena kebetulan juga saya punya warung,” ungkapnya.

Selain itu, Kedepannya ia juga akan menyusun kembali cara kerja agar jadi lebih baik kedepannya, dan kami juga sudah merencanakan untuk menambah kelompok-kelompok pengrajin lagi

“Semoga saja secepatnya ada dinas-dinas yang mau membantu, dan juga kedepan kain angkinan ini bisa lebih dikenal. Sebelumnya sudah ada PT Pusri yang membantu alat yakni mesin jahit karena memang kami disini tidak ada mesin jahit. selama ini untuk menjahit bajunya kami masih mengupah baik itu menyulam dan menjahit, dan alhamdulillah sekarang sudah ada mesin jahit,” harapnya.

Ia menambahkan, Kain Angkinan memiiki ciri khas yakni, bahan kain bludru, untuk motif menggunakan benang emas yang dominan seperti motif yang ada di kain songket, kemudian juga menggunakan benang warna warni.

“Kenapa disebut angkinan ? Itu karena pembuatannya masih manual, yakni dengan cara di angkit, menggunakan ram, kemudian jarum, yang pasti pembuatannya haus dengan kesabaran. Motif kain ini sendiri cukup banyak lebih kurang ada 15, untuk yang ingin mengorder kain ini bisa memesan langsung ke kami by request dan insya allah akan kami buatkan sesuai kemampuan kami,” imbuhnya.

Kemudian kata dia, untuk harganya sendiri yakni mulai dari Rp750 ribu tergantung dari tingkat kesulitan dan juga besar kecilnya kain yang diminta.

“Tapi harga itu masih bisa dinego di tempat, sebenarnya ini sudah murah tetapi seperti pengalaman kalau di jual di pasar 16 ilir itu suka menangis karena dianggap mahal dan masih banyak yang menawar dengan harga yang tidak sesuai. Kadang terpaksa dijual dari pada tidak laku, padahal untuk modal saja tidak balik. Intinya yang penting para pekerja ini bisa dibayar dulu, tidak apa saya rugi yang penting teman-teman ini bisa dapat uang dan tetap bekerja,” ucap dia. (Tia)