Palembang,Focuskini
Sidang perdana kasus dugaan korupsi pengelolaan Biaya Pengganti Pengolahan Darah (BPPD) di Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Palembang tahun anggaran 2020–2023 resmi digelar di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Selasa (14/10/2025).
Dua terdakwa dalam perkara ini adalah mantan Ketua PMI Kota Palembang, Fitrianti Agustinda, dan suaminya, Dedi Sipriyanto, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Bagian Administrasi dan Umum Unit Transfusi Darah (UTD) PMI Palembang.
Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Masrianti SH MH ini beragendakan pembacaan tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas eksepsi atau keberatan dari penasehat hukum kedua terdakwa.
JPU dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Palembang, Syaran Hafizan SH, menyampaikan bahwa seluruh dalil dalam eksepsi tim penasehat hukum terdakwa tidak beralasan hukum.
“Pada umumnya, eksepsi tersebut tidak menyentuh pokok perkara dan berada di luar ranah pemeriksaan sidang. Karena itu, kami memohon kepada majelis hakim agar menolak seluruh eksepsi tersebut,” ujar Syaran Hafizan usai sidang.
Salah satu poin keberatan dari pihak terdakwa, lanjutnya, adalah soal kewenangan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam menghitung kerugian negara.
“Kami berpendapat hal itu dapat dibuktikan dalam fakta persidangan nanti,” tambahnya.
Majelis hakim menjadwalkan sidang berikutnya pada pekan depan dengan agenda pembacaan putusan sela.
Dalam dakwaan JPU, disebutkan bahwa dana BPPD yang seharusnya digunakan untuk kepentingan PMI justru dipakai untuk kebutuhan pribadi kedua terdakwa, mulai dari pembelian papan bunga, dua unit mobil, hingga keperluan rumah tangga.
Pada tahun 2020, terdakwa membeli mobil Toyota Hi-Ace secara kredit dengan uang muka Rp115,9 juta dan cicilan Rp22,48 juta yang dibayarkan menggunakan dana PMI. Mobil tersebut digunakan untuk keperluan pribadi hingga lunas pada Maret 2022.
Kemudian, pada tahun 2023, terdakwa kembali membeli mobil Toyota Hilux dengan uang muka Rp107 juta dan cicilan Rp14,9 juta yang juga dibayar dari dana PMI. Mobil diterima pada Oktober 2023 dan dilunasi cepat pada November 2024 senilai Rp321,8 juta.
Kedua kendaraan itu tidak pernah tercatat sebagai aset resmi UTD PMI Palembang. Selain itu, sejumlah pengeluaran seperti papan bunga, publikasi, bantuan sosial, dan kebutuhan rumah tangga juga dinilai tidak sesuai aturan.
Audit BPKP Sumsel mencatat, selama periode 2020–2023, UTD PMI Palembang menerima dana Rp83,77 miliar, namun pengelolaannya tidak transparan. Akibatnya, negara mengalami kerugian sebesar Rp4,09 miliar.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan Pasal 3 jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(Hsyah)