Menanti Reinkarnasi Kepemimpinan Ideal di Tangan Pemuda

Oleh:Bagas Pratama, S.E. Penulis adalah:- Alumni Penerima Manfaat Baktinusa (Beasiswa Aktivis Nusantara) Angkatan 10 Wilayah Palembang- Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Sumatera Selatan- Pemerhati Sosial Masyarakat Sumatera Selatan

Parlemen450 Dilihat

77 TAHUN sudah Indonesia berdiri sebagai sebuah entitas negara, setelah ratusantahun lamanya dijajah dan dijarah. Kurang lebih 1 abad pula telah disemai bibit-bibitkepemimpinan di negara yang dikaruniai kekakayaan berlimpah ini. Ditandai denganberdirinya Boedi Oetomo pada 1908 sebagai simbol dimulainya ‘musim’ pergerakan yangkemudian menjadi katalisator gerakan, kemudian diikutilah oleh gelombang-gelombangkepemimpinan nasional setelahnya.Sebut saja, Bapak Proklamasi, yang hingga kini dielu-elukan sebagai pemimpinpaling kharismatik yang pernah ada di negeri ini, ialah Soekarno, beliau lahir dan dikadersebagai pemimpin pada masa-masa ini, dari tangan dingin sang mentor, H.O.S.Tjokroaminoto. Kala itu, diskursus yang hinggap pada anak-anak muda berusia dua puluhtahunan melebihi usianya -apabila dibandingkan dengan masa kini.

Modal dan Kondisi Kepemimpinan Awal Kemerdekaan Apabila kita kaji masa-masa kepemimpinan pra kemerdekaan dan beberapa tahunsetelahnya dari kacamata model kepemimpinan idealnya Dr. Larry Stout, seorang akademisidi bidang kepemimpinan yang karya-karyanya banyak dirujuk di berbagai belahan dunia,maka akan kita dapati masa-masa pra dan awal kemerdekaan adalah sebaik-baikmomentum kepemimpinan yang pernah singgah di bangsa ini. Dalam bukunya Perubahan Model Kepemimpinan Ideal, Stout menyebut bahwakepemimpinan mestilah menyiratkan dan memulai perubahan, membawa yang dipimpinnyaberubah ke arah yang lebih maju atau lebih baik. Dia yang meneropong jauh ke depanmelihat visi kemudian mentransfer visinya kepada para pengikutnya itulah pemimpin.Karakter mau menerima tantangan dan tidak pernah berhenti memikirkanperubahanlah yang membentuk membentuk ciri kepemimpinan pada masa itu. Singkatnya,pemimpin tidak pernah nyaman dengan status quo.Pada masa-masa prakemerdekaan, ruang-ruang pemikiran dan diskusi selaludisuguhi dengan gagasan perubahan dan semangat revolusioner di berbagai sisi. Semuaelemen menghendaki perubahan nasib.

Ia yang dengan tanggap mampu menangkap impianterdalam orang banyaklah yang terlahir sebagai pemimpin. Dimana keresahan-keresahandisulapnya menjadi bahan bakar kepemimpinannya, sehingga gagasan-gagasan yangbermunculan selalu disambut dengan sangat antusias oleh khalayak.Perubahan itu sulit secara psikologis, dan individu-individu hanya mau berubahketika mereka melihat suatu keuntungan. Beruntungnya, kondisi kepemimpinan pada masa-masa itu mendukung penuh perubahan yang digagas. Dalam posisi secara de facto sebagaipemimpin, Soekarno dan tokoh nasional lainnya memiliki orang-orang yang merasakanemosi yang sama dengannya.Penanaman visi itu juga setelahnya ditambah dengan nilai-nilai luhur yang terpancardalam diri sang pemimpin sendiri. Nilai luhur sebagai bangsa yang menjunjung tinggikemanusiaan inilah yang secara kuat menopang visi global kepemimpinan saat itu. “Tanpavisi yang memadai, nilai hanya akan mengantarkan manusia menjadi orang baik.Sebaliknya, visi tanpa nilai yang memadai, selamanya hanya akan berkutat di jalan yangtidak konsisten” (Stout, 2006:142).

Modal berikutnya yang dipupuk secara berkelanjutan oleh kepemimpinan masa pradan awal kemerdekaan ialah karakteristik-karakteristik personal berupa kebijaksanaan dankeberanian. Kebijaksanaan adalah apa yang selalu dipertontonkan sebagai ciri khasseorang yang dianggap layak memimpin. Kita melihat kebijaksanaan dan keberanian melekat kuat pada tokoh-tokoh awalkemerdekaan republik ini, yang secara imajinatif terlukiskan lewat cerita-cerita sejarah.Keberanian boleh jadi timbul sebagai modal utama kepemimpinan, yang tanpanya bisa sajavisi kepemimpinan mustahil terwujud. Tapi tanpa menyandingkannya dengan modal yang sederajat -kebijaksanaan-keberanian hanya akan mengantarkan kepada kehancuran lebih cepat. Kebijaksanaan dankeberanian telah dilihat sebagai dua sisi mata uang yang sama. Kedua modalkepemimpinan ini saling bertautan tak terpisahkan. “Pemimpin-pemimpin yang bagusbertumbuh dalam kebijaksanaan mereka dengan memiliki inti keberanian yang solid” (Stout,2006:148).Ketika para pemuda yang dirasuki keberanian mendesak golongan tua agarkemerdekaan segera diproklamirkan, sebenarnya golongan tua pun memiliki segudangkeberanian yang telah sangat lama disemayamkan yang bisa saja ia menuruti kehendakkaum muda, namun senjata kebijaksaanlah yang mampu mengimbangi dan melahirkanmomentum yang tepat untuk semua pihak. kemudian, kepercayaan dan kejelasan suara lah yang menjadi modal penentukuatnya akar kepemimpinan dalam diri masyarakat saat itu.

Sebagai karakteristikinterpersonal, kepercayaan juga terpaut kuat dengan kebulatan suara. Tanpa kepercayaan,tak seorang pun mau mendengarkan sang pemimpin. Namun kepercayaan yang tidakdilandasi kejelasan suara, mustahil sang pemimpin mampu menyampaikan pesannyasecara sempurna dan menghipnotis jutaan khalayak.Soekarno dan tokoh-tokoh nasional lainnya pada masa itu memumpuk kepercayaanyang tinggi pada masyarakat hingga kantong-kantong terpencil sekalipun. Siapa yang tidakkenal bapak kemerdekaan itu, yang namanya menggema karena sebelum muncul sebagaiproklamator ia telah lebih dulu membumikan diri. Di samping itu nilai integritas juga yang semakin menguatkan kepercayaan padakepemimpinan pra hingga awal kemerdekaan. “Alasan kepercayaan terbangun adalahkarena sang pemimpin melakukan dan menghidupi apa yang dikatakannya” (Stout,2006:149). Suara yang jelaslah yang kemudian menyempurnakan modal kepemimpinannya.

Pesannya jelas dan sampai kini masih terngiang: “Merdeka atau mati”.“Kebijaksanaan, keberanian, kepercayaan dan suara mewakili profil psikologis sangpemimpin, dan visi serta nilai-nilai mewakili perspektif filosofis sang pemimpin” (Stout, 2006:47). Jika enam modal tersebut ditanam pada kondisi kepemimpinan yang pas, maka lahirlahkepemimpinan ideal. Terpenuhinya berbagai modal secara sempurna pada masa-masaawal kemerdekaan itu bersesuaian pula dengan kondisi kepemimpinan pada masa pra danawal kemerdekaan.Kegagalan Inisiatif KepemimpinanSelama masa berdirinya Indonesia sebagai entitas negara, telah banyak cobaankepemimpinan yang dihadapi yang kemudian menimbulkan kondisi-kondisi baru dalamkepemimpinan. Presiden Republik Indonesia telah mengalami pergantian sebanyak 7 kalisejak kemerdekaannya pada 1945. Domain-domain kepemimpinan pun diperluas hingga ke daerah-daerah dalam bentuk otonomi, sehingga melahirkan aktor-aktor lokal yang jugaberperan besar dalam pembangunan.Namun sayangnya, semakin banyak domain kepemimpinan di republik ini, semakinbanyak pula ‘pemimpin’ yang terpilih tanpa memiliki modal-modal kepemimpinan ideal.

Lihatsaja pada perspektif filosofis sang pemimpin, beberapa waktu terakhir ini, nilai-nilai dan visibukanlah yang pertaruhan utama saat kontestasi pemilihan pemimpin baru. Materialisme telah mendarah daging pada masyarakat akar rumput. Selain itu, sebagaiwarisan kolonial, mental pangreh dan ambtenaar masih melekat kuat dalam diri bangsaini. Pendekatannya selalu menyoal previllege, hak istimewa dan kekuasaan, dan itu kompakdipertontonkan oleh elit birokrasi yang sudah bak raja-raja kecil maupun masyarakat awamyang mendewakannya.
Anehnya, kondisi itu justru terjadi pada saat kepercayaan masyarakat terhadappemimpin tengah pada titik terendahnya, bersamaan terdegradasinya kebijaksanaan sangpemimpin. Hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) Februari 2021 menyebutkan tingkatkepercayaan publik terhadap Presiden Joko Widodo berada di bawah gubernur dan walikota/bupati. Pada kondisi yang lain lagi ada pula kepemimpinan yang tidak memiliki kesatuansuara, sehingga pesan-pesan kepemimpinan menjadi bias dan terkadang masyarakatbahkan tidak merasa memiliki pemimpin.
Di satu sisi, pendidikan politik yang bersih gagal diberikan kepada masyarakat.Demokrasi yang katanya melahirkan kedaulatan rakyat pada akhirnya hanya menjadidemokrasi nasi, dimana pemilu hanya menjadi ajang elit berlomba-lomba melakukanapapun demi mendapatkan dukungan sebagai sumber legitimasi semu.Menanti Reinkarnasi Kepemimpinan IdealBangsa ini sudah sangat rindu akan kondisi kepemimpinan ideal, dimana modal-modal kepemimpinan ditanam dan tumbuh subur pada kondisi-kondisi kepemimpinan yangjuga mendukung. Saat ini, krisis kepemimpinan bangsa Indonesia sudah muak menjaditontonan masyarakat.Degradasi nilai dan moral kepemimpinan yang kian menggerus martabat bangsasudah sepatutnya direm dan digantikan dengan kepemimpinan ideal yang sebentar lagiakan kembali ‘panen raya’, yang euforianya dirasakan sama seperti momen proklamasikemerdekaan 76 tahun lalu.Menjadi catatan khusus bagi pemuda dan mahasiswa saat ini untuk menyiapkanserta menyambut momentum kepemimpinan sebagai aktor utama.

Maka hal terbaik yangbisa dilakukan sebagai upaya menyambutnya adalah menyiapkan dengan apik modal-modalkepemimpinan: Visi, nilai, keberanian, kebijaksanaan, kepercayaan dan suara.Gelanggang kepemimpinan terbuka lebar dan pemuda serta mahasiswa hari inimemiliki kebebasan penuh untuk terlibat aktif di dalamnya. Adapun sebagai medan latihandan pengejawantahan ide, tersedia amat banyak kantong masyarakat yang dapat dijadikanladang pembinaan guna mengasah nilai-nilai tersebut.Kesimpulannya, selama menanti reinkarnasi kepemimpinan ideal, marilah kitabertanya, sudahkah kita memantaskan diri untuk menjadi pemimpin. Sebab cepat ataulambat kitalah yang memikul beban kepemimpinan itu dan alangkah lama penderitaan ibupertiwi jika pada saat jatuh tempo nanti, kita tak menyiapkan dengan matang modal-modalkepemimpinan. (*)