OKI, Focuskini
Banyak yang belum tahu kalau Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki icon bernilai sejarah tinggi, ialah Perahu Kajang. Pemkab dan masyarakat mengabadikan bentuk perahu sebagai ikon daerah, bersamaan dengan ombak sungai dan laut biru.
Perahu Kajang berukuran panjang 6 hingga 8 meter lebih dan lebar 2 hingga 3 meter. Umumnya menggunakan atap dari nipah yang memiliki tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (kajang tarik), bagian tengah adalah atap yang tetap (kajang tetap) dan atap bagian belakang (tunjang karang).
Bentuk perahunya lebar pada bagian lambung. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut selungku, merupakan ciri khas perahu kajang Kayuagung.
Dahulu, Perahu Kajang menjadi alat transportasi tradisional sekaligus menjadi rumah pada masa lampau bagi masyarakat di sekitar sungai. Perahu ini, meskipun hanya perahu kecil, kisahnya bahkan sudah sampai ke negara tetangga, mulai dari Malaysia hingga Vietnam.
Menurut warga setempat yang mengetahui sejarah Perahu Kajang, di masa proto-Sriwijaya, perahu-perahu kajang dari Kayuagung dan Sirah Pulau Padang melaju di Sungai Komering, masuk ke Sungai Musi, dan lepas ke Selat Bangka, Lautan Cina Selatan, hingga ke Laut Jawa.
Perahu-perahu kajang ini selain membawa hasil bumi, juga membawa gerabah, seperti periuk yang terbuat dari tanah liat. Sebaran perahu kajang tersebut berdasarkan penemuan arkeologi, ditemukan di beberapa daerah di Malaysia, Vietnam, Jawa, dan Kalimantan. Saat itu, perahu kajang belum menggunakan paku, tapi pasak kayu yang diikat dengan tali dari sabut kelapa.
Cerita seorang Tokoh Masyarakat asal Kelurahan Jua-jua Kecamatan Kayuagung, Madi (56) pada media ini, zaman dahulu orang Kayuagung tinggal dan menetap di hampir seluruh wilayah Indonesia bahkan hingga negara tetangga. Untuk transportasinya, mereka gunakan perahu Kajang. Inilah yang mengantar mereka sebagai pelaut dan pedagang ulung sejak dahulu,” kata Madi yang sejak kecil selalu diajak orang tuanya berdagang menggunakan Perahu Kajang.
“Saat Jakarta didirikan dan dibangun oleh Belanda, ada pusat perdagangan periuk yang dijual oleh para warga Kayuagung, daerah itu kemudian dinamai Tanjung Priok,” ujar Madi.
Menurutnya, hingga masa awal Indonesia merdeka, masih ada pedagang dari Kayuagung berdagang ke Singapura. Transportasi mereka mengandalkan perahu kajang dan membawa hasil bumi seperti getah damar, gambir, dan tembikar.
“Nenek kami dulu, setiap berangkat hanya membawa 3 benda saat hendak melaut yakni minyak kelapa, beras dan batu (sebelum adanya korek api). Dengan alat-alat sederhana itu, mereka orang-orang tua dulu mampu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun bertahan hidup dalam perahu Kajang,” kisahnya.
Pernah Ada Satu yang Asli
Madi berharap agar, perahu kajang ini dapat terus dilestarikan, minimal setidaknya diketahui oleh generasi di zaman sekarang. Sebab, Perahu Kajang ini adalah bukti kebesaran nenek moyang. Bahkan ia mampu melewati fase-fase peradaban, mulai dari kerajaan Sriwijaya, kesultanan Palembang hingga masa-masa perjuangan merebut kemerdekaan bangsa ini.
Namun, diakui Madi, dahulu pernah ada satu Perahu Kajang asli peninggalan nenek moyang. Sayangnya, setelah pergi meninggalkan Kayu Agung, Perahu Kajang legendaris tersebut, tidak pernah kembali lagi. “Saya tidak tahu, kemana perginya perahu itu,” ujar dia
Secara keseluruhan Madi mengapresiasi pemerintah kabupaten telah melestarikan perwujudan Perahu Kajang di berbagai lokasi di Kayuagung. Dengan demikian generasi saat ini bisa mengetahui hadirnya perahu kajang juga ikut andil dalam mengisi kehidupan masyarakat kala itu,” imbuhnya. (Rasmiadi)