Palembang, Focuskini
Hingga Agustus 2023, luas perhutanan social di Provinsi Sumatera Selatan sudah mencapai 133.390,23 hektar dengan 211 izin. Hal ini diketahui berdasarkan data dari Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan.
Sementara dari Data Informasi Kemitraan Konservasi Lingkup Balai KSDA Sumatera Selatan ada 9 Perjanjian Kerja Sama dengan 503 anggota dan luas 785,30 Ha. Perincian perhutanan sosial meliputi Hutan Desa (HD) mempunyai 25 Izin dengan luas 33.640,00 Ha, Hutan Kemasyarakatan (HKm) mempunyai 101 Izin dengan luas 407.030,53 Ha, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) mempunyai 69 Izin dengan luas 22.184,07 dan Hutan Adat (HA) mempunyai 2 Izin dengan luas 379,70 Ha.
“Kemitraan Kehutanan (KK) mempunyai 14 Izin dengan luas 30.155,93 Ha, terdiri dari Kemitraan Konsesi dengan 6 izin seluas 10.334,79 Ha dan Kemitraan dengan KPH (sebelum P.MENLHK No.9 Tahun 2021 mempunyai 8 Izin seluas 19.821,14 Ha,” tulis Pokja Percepatan Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, belum lama ini.
Sementara itu, sesuai Peraturan Presiden Nomor 28 tahun 2023 bahwa diperlukan adanya Perencanaan Terpadu Percepatan Perhutanan Sosial dalam pengembangan usaha perhutanan sosial untuk kesejahteraan masyarakat.
Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru berkomitmen dalam pengembangan Perhutanan Sosial di Sumsel dan mengingatkan OPD dan pihak terkait lainnya untuk untuk mendorong pengembangan Perhutanan Sosial.
“Perhutanan Sosial merupakan komitmen pemerintah dalam pembangunan hutan berbasis masyarakat, dengan memberikan akses legal kepada masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang terlanjur memiliki lahan garapan di dalam kawasan hutan,” kata Herman Deru.
Menurut Herman Deru, masyarakat dapat mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara bertanggung jawab. Karena Perhutanan Sosial memang bertujuan meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian hutan. Herman Deru mengatakan, pelibatan dan peran aktif OPD terkait dalam memfasilitasi dan memberikan bantuan kegiatan kepada Kelompok Perhutanan Sosial (KPS) ini masih belum optimal. Surat Edaran Gubernur telah disampaikan kepada Bupati/Wali Kota terkait peran Pemerintah Daerah dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasis Perhutanan Sosial.
“Surat Edaran ini tujuannya untuk mengingatkan kita semua terutama OPD dan lembaga terkait agar mengalokasikan kegiatannya untuk mendorong pengembangan perhutanan sosial,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Hutan Kita Institute (HaKI) Deddy Permana, S.Si mengatakan, Perhutanan Sosial di Sumsel telah memberi bukti keselarasan peningkatan kesejahteraan, lingkungan, dan budaya. Prestasi demi prestasi dicapai dalam Perhutanan Sosial di Sumatera Selatan.
“Kita mengenal Hutan Adat Tebat Benawa yang telah berhasil mengembangkan sektor ekowisata dan terpilih menjadi Desa Wisata Nomor Satu di Sumatera Selatan. Beberapa Perhutanan Sosial lainnya juga telah mengembangkan ekowisata dan menjadi potensi pendapatan desa dan masyarakat sekitar,” kata Deddy Permana.
Deddy melanjutkan, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) terus berkembang, Sumsel menjadi salah satu provinsi yang menjadi contoh bagi provinsi lainnya.sebut saja, prestasi hutan tanaman.
Rakyat di Ogan Komering Ilir yang telah sejak lama menjadi contoh Nasional, karena kedisiplinannya membayar Provisi Sumber Daya Hutan. “Pengembangan produk Perhutanan Sosial yang ramah lingkungan sangat penting dilakukan. Kopi menjadi komoditas terbesar Perhutanan Sosial di Sumsel, kini diupayakan dengan pola Agroforestry. Hasil Hutan Bukan Kayu pun dikembangkan dan mamberi manfaat peningkatan kesejahteraan dan lingkungan,” ujar Deddy.
Ketua Himpunan Masyarakat Perhutanan Sosial (HMPS) Sumatera Selatan, Eko Agus Sugianto mengatakan, Sumsel merupakan salah satu pelopor Perhutanan Sosial. Sudah 211 izin hak kelola telah diberikan dalam skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Konservasi.
“Perhutannan Sosial Sumsel telah mencapai 134 ribu hektar. Sebanyak 34 ribu lebih kepala keluarga penerima manfaat Perhutanan Sosial, yang dahulunya mengelola kawasan hutan secara ilegal, kini mendapat hak kelola, bahkan hak kepemilikan kolektif pada Hutan Adat,” pungkasnya. (Yunani)