Spanduk MURI Dipasang di Pagar Masjid

Kasat Pol PP OKI: Itu Melanggar Perda

OKI52 Dilihat

OKI , Focuskini

Sejumlah spanduk pasangan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati OKI, Muchendi – Supriyanto (Muri), ditemukan terpasang di beberapa pagar rumah ibadah, termasuk di pagar masjid di wilayah Kabupaten OKI.

Fenomena ini menimbulkan sorotan tajam karena rumah ibadah adalah fasilitas umum yang seharusnya netral dan terlarang bagi aktivitas politik, termasuk pemasangan alat sosialisasi kandidat.

Di Desa Sindang Sari, Kecamatan Lempuing, misalnya, salah satu spanduk Muri terpasang di pagar masjid yang kerap menjadi pusat kegiatan masyarakat.

Meskipun hingga saat ini belum ada pasangan calon yang resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), masyarakat sudah mulai memperhatikan gerakan sosialisasi yang dilakukan oleh tim sukses beberapa bakal calon.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) OKI, Romi Maradhona, SHI, menegaskan bahwa saat ini Bawaslu belum memiliki wewenang untuk menindaklanjuti pemasangan spanduk atau baliho tersebut.

“Saat ini belum ada penetapan resmi pasangan calon dari KPU, sehingga kami belum bisa bertindak langsung dalam ranah pengawasan. Namun, aturan jelas melarang pemasangan alat kampanye di tempat-tempat yang semestinya netral, seperti rumah ibadah, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas pemerintah lainnya,” kata Romi, Selasa (10/9/2024)

Meski demikian, Romi tetap mengimbau agar para bakal calon dan tim suksesnya mematuhi aturan yang ada.

“Rumah ibadah dan fasilitas umum bukan tempat untuk kampanye, termasuk memasang alat peraga atau spanduk. Ini demi menjaga netralitas dan kenyamanan masyarakat dalam menjalankan kegiatan ibadah maupun aktivitas lainnya,” tambahnya.

Dalam kasus pemasangan spanduk di rumah ibadah ini, Sat Pol PP Kabupaten OKI turut angkat bicara. Kasat Pol PP dan Damkar OKI, Hilwen Hariwijaya SH didampingi oleh Kabid Tibum Mantiton, SH menjelaskan bahwa ada regulasi yang melarang pemasangan spanduk di tempat-tempat umum tanpa izin.

“Pemasangan spanduk politik memang berada di bawah ranah Bawaslu. Namun, jika spanduk atau baliho dipasang di tempat-tempat seperti perkantoran atau rumah ibadah tanpa izin, itu jelas melanggar Peraturan Daerah tentang Ketertiban Umum dan Ketenteraman Masyarakat (Perda Trantibum) No. 13 Tahun 2010, khususnya Pasal 38,” kata Hilwen.

Pasal 38 dalam Perda Trantibum No. 13 Tahun 2010 menyatakan bahwa fasilitas umum, termasuk rumah ibadah, tidak boleh digunakan sebagai tempat kampanye atau pemasangan alat peraga kampanye tanpa seizin pengelola setempat.

Larangan ini dibuat untuk melindungi netralitas tempat-tempat publik yang dianggap sakral dan penting bagi masyarakat.

Hilwen menambahkan bahwa Sat Pol PP akan menginstruksikan jajaran di kecamatan-kecamatan untuk lebih proaktif dalam mengawasi pemasangan spanduk atau baliho yang tidak sesuai dengan ketentuan.

“Kami akan meminta Kasi Trantib di kecamatan untuk berperan aktif dalam mengawasi pemasangan alat peraga ini. Sosialisasi mengenai larangan ini juga akan kami tingkatkan, agar masyarakat dan tim kampanye lebih sadar akan aturan yang berlaku,” tegasnya.

Pemasangan spanduk di tempat-tempat yang dianggap terlarang bukanlah isu baru dalam dunia perpolitikan. Di tengah semakin dekatnya kontestasi Pilkada OKI 2024, beberapa bakal calon mulai gencar melakukan sosialisasi. Hal ini tak ayal menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat.

Seorang warga Desa Sindang Sari, Ismail, mengungkapkan ketidaknyamanannya melihat spanduk politik yang terpasang di pagar masjid desanya.

“Masjid itu tempat kami beribadah, tempat suci. Seharusnya tidak digunakan untuk hal-hal berbau politik. Saya merasa tidak nyaman setiap kali lewat dan melihat spanduk itu,” ujarnya.

Di sisi lain, ada juga warga yang merasa hal tersebut bukan masalah besar.

“Selama tidak mengganggu aktivitas ibadah, saya pikir tidak masalah. Lagi pula, ini kan masih sosialisasi, belum kampanye resmi. Semua orang punya hak untuk mengenalkan diri,” kata Jamilah, warga setempat yang berbeda pendapat.

Perbedaan pandangan ini mencerminkan situasi yang umum terjadi dalam setiap masa pemilihan.

Kepentingan politik sering kali berbenturan dengan norma-norma sosial, dan dalam kasus ini, rumah ibadah menjadi arena yang dipertaruhkan.

Sementara beberapa warga berpendapat bahwa masjid harus tetap netral, yang lain melihat ini sebagai bagian dari dinamika politik yang tak terelakkan.

Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi jalannya Pemilu, Bawaslu memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan setiap tahapan pemilihan berjalan sesuai aturan. Namun, hingga penetapan resmi pasangan calon oleh KPU, ranah pengawasan Bawaslu masih terbatas. Hal ini yang membuat Sat Pol PP harus turun tangan dalam menjaga ketertiban umum, terutama terkait pemasangan alat peraga di tempat-tempat yang dianggap terlarang.

Hilwen, Kasat Pol PP OKI, menekankan pentingnya sinergi antara pihak-pihak terkait dalam menjaga ketertiban selama masa sosialisasi dan kampanye. “Bawaslu, Sat Pol PP, dan aparat keamanan harus bekerja sama. Sosialisasi ini adalah bagian dari proses demokrasi, namun harus tetap dalam koridor hukum. Jika dibiarkan, pemasangan spanduk di tempat yang tidak seharusnya bisa menjadi preseden buruk,” jelasnya.

Ia juga menyebutkan pentingnya edukasi kepada masyarakat dan tim sukses kandidat terkait aturan-aturan yang berlaku. “Sosialisasi aturan ini tidak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga kepada tim sukses calon. Mereka harus memahami batasan-batasan dalam melakukan sosialisasi agar tidak melanggar hukum dan merugikan pihak lain,” tambah Hilwen.

Menjelang Pilkada OKI 2024, sosialisasi bakal calon merupakan langkah penting untuk mengenalkan diri kepada masyarakat. Namun, cara sosialisasi tersebut harus dilakukan dengan bertanggung jawab dan menghormati nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, termasuk menghormati tempat-tempat yang memiliki makna sakral, seperti masjid.

Rumah ibadah, dalam hal ini masjid, bukan sekadar bangunan fisik. Masjid memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi umat Islam.

Penggunaan masjid untuk tujuan politik bisa memicu sentimen negatif di kalangan masyarakat yang merasa bahwa tempat suci ini tidak seharusnya dijadikan arena perebutan kekuasaan.

Oleh karena itu, aturan yang melarang pemasangan alat peraga kampanye di rumah ibadah bukan hanya soal ketertiban umum, tetapi juga upaya menjaga kesucian dan netralitas tempat ibadah.

Pemasangan spanduk di pagar masjid ini bukanlah kasus pertama yang melibatkan politisasi rumah ibadah.

Di berbagai daerah di Indonesia, rumah ibadah sering kali menjadi salah satu target kampanye terselubung oleh pihak-pihak yang berusaha memanfaatkan pengaruh agama untuk mendapatkan dukungan politik.

Sejarah mencatat bahwa politisasi rumah ibadah kerap digunakan untuk menarik simpati dan dukungan dari kelompok-kelompok keagamaan.

Dalam beberapa kasus, politisasi ini bahkan bisa memecah belah komunitas agama yang sebelumnya hidup rukun.

Contoh nyata adalah sejumlah insiden di mana tempat ibadah digunakan sebagai arena kampanye terselubung, yang akhirnya menimbulkan ketegangan di masyarakat.

Konteks ini menegaskan pentingnya menjaga netralitas rumah ibadah dari kegiatan politik.

Pemasangan alat peraga di tempat-tempat seperti masjid, gereja, atau pura tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga dapat mencederai keharmonisan masyarakat.

Sebagai penegak Perda, Sat Pol PP Kabupaten OKI memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban umum, termasuk menegakkan aturan terkait pemasangan spanduk dan baliho di tempat-tempat umum.

Instruksi dari Kasat Pol PP dan Damkar OKI kepada jajarannya untuk lebih aktif mengawasi pemasangan spanduk di Kecamatan Lempuing dan daerah lainnya adalah langkah konkret dalam memastikan bahwa aturan ini dipatuhi.

Selain itu, sosialisasi yang dilakukan oleh Sat Pol PP kepada masyarakat dan tim kampanye calon diharapkan dapat meningkatkan kesadaran tentang pentingnya mematuhi aturan yang berlaku. Tanpa adanya penegakan hukum yang tegas. (Hendra)