Budidaya Ubi Jepang Pagar Alam

Potensial, Masih Sulit Cari Pasar

Sumsel615 Dilihat

Pagaralam Focuskini

Nama Ubi Jepang, agak asing terdengar di telinga. Biasa kita mendengar ubi kayu, dan beraneka jenis ubi jalar. Nah, ubi Jepang ini termasuk ke dalam golongan ubi jalar (rambat). Namun, pemasaran Ubi Jepang tidak segampang ubi jalar pada umumnya.

Sebagai salah satu daerah sentra pertanian di Sumatera Selatan, nama komoditas Ubi Jepang belum terlalu familiar di kalangan petani Kota Pagar Alam. Berbeda halnya dengan ubi rambat lain, seperti ubi madu, ubi ungu, dan lain sebagianya.

Wajar saja, selain belum banyak petani yang bertanam, ternyata di Kota Pagar Alam Ubi Jepang belum memiliki pasar. Sehingga petani kesulitan untuk menjual hasil panennya.

Namun beberapa tahun terakhir, meskipun belum begitu sering ditemukan, melalui inisiasi seorang putra asal Kota Pagar Alam yang tengah bertugas di luar Kota yakni Leo Barma, produksi ubi jepang mulai kelihatan. “Hanya petani-petani yang memiliki tempat penjualan tertentu saja yang mau bertanam ubi jepang. Dan itupun melalui tangan pemodal,” kata Leo.

Tawarkan Harga Kontrak

Menurut Leo, yang sekarang menjadi pemilik modal petani Ubi Jepang di Kota Pagar Alam, bahwa sebenarnya nama Ubi Jepang bukan sesuatu yang baru. Nama Latin Satsui Maimo ini adalah jenis ubi jalar yang memiliki masa tanam singkat sekitar 4 sampai beberapa bulan saja. Lebih cepat dibandingkan dengan manfaat ubi jalar lokal dengan masa tanam 6 hingga 8 bulan.

Persoalan harga yang terlalu murah, memiliki andil besar bagi petani untuk membudidayakanya. Malah, kata Leo, jangankan ubi jepang, ubi jenis lain saja terkadang meskipun tetap laku di pasaran namun harganya tidak sesuai harapan. Bahkan, saking murahnya harga tersebut, petani pun rela ubi yang mereka tanam tidak dipanen.

“Itulah kenapa, di sela-sela profesi dan tugas saya sebagai abdi negara (tentara) di luar kota. Saya berpikir bagaimana caranya agar petani di Kota Pagar Alam dapat terbantu mendapatkan pasar. Terutama bagi orang tua saya yang kebetulan juga petani,” kata Leo saat dihubungi media ini.

Berkat kerja kerasnya, saat ini harga ubi Jepang mulai ada peningkatan. Perkilo ubi jepang biasa diberi harga mulai dari Rp. 2.000 sampai Rp.2.500 perkilonya (sesuai ukuran ubi).

Harga ini, kata dia, merupakan harga kontrak. Petani diberikan modal untuk membeli bibit, pupuk serta pestisida. Dan nanti pas tiba masa panen, ubi tersebut dijual ke dirinya selaku pemilik modal dengan harga yang sudah disepakati.

“Barulah nanti Ubi Jepang tersebut saya masukan ke pabrik-pabrik yang sudah saya hubungi sebelumnya,” kata dia.

Dengan menggunakan sistem seperti ini, sejak tahun lalu, sudah puluhan bahkan ratusan ton ubi jepang asal kota Pagar Alam sudah mampu dipasarkan.

Hanya saja, kata dia, untuk sentra pertaniannya masih tergolong sedikit di Kota Pagar Alam. Dan hanya petani-petani yang mendapatkan bantuan modal dari dirinya saja yang bisa berkembang.

“Dan namanya pemodal, kami juga pasti ada keterbatasan, mana petani yang bisa kita bantu dan mana yang tidak, ini tergantung dengan modal,” ucap dia.

Padahal, soal permintaan pasar, Ubi Jepang masih cukup tinggi. Karena berdasarkan pengalaman Leo, sejauh ini belum ada kendala dalam penjualan ke pabrik-pabrik, bahkan ke pasar lokal di luar kota Pagar Alam.

“Kami berharap, ke depannya akan ada agen-agen di Pagar Alam yang membuka pasar untuk komoditi Ubi Jepang ini, agar petani Pagar Alam juga tidak bergantung kepada pemodal dalam mencari pasar,” tukasnya. (Delta)